Ngakunya nggak bisa beli susu atau telur karena nggak punya uang, padahal di tangannya terselip sebatang rokok. Banyak orang miskin yang berusaha melupakan kemiskinannya dengan merokok. Padahal orang miskin tidak sadar bahwa merokok bisa membuatnya terus miskin hingga tujuh turunan.
Di pedesaan, rokok sudah menjadi menu sehari-hari selain makanan pokok dan kopi yang selalu harus ada. Menurut hasil survei lembaga demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, besarnya pengeluaran untuk rokok adalah Rp 3.545 per hari atau Rp 106.350 per bulan. Ini setara dengan 26 persen penghasilan buruh tani tembakau per bulan. Dengan kata lain, seperempat upah buruh habis untuk dibakar. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 2 dari tiga laki-laki merokok dan perempuan juga sudah meningkat jumlahnya saat ini. "Makanya untuk perempuan tolong cari suami yang syaratnya 'kalau mau menikah dengan saya harus nggak boleh merokok'," ujar Dr Sonny Harry B Harmadi, kepala Lembaga Demografi FEUI dalam acara Peningkatan Cukai Rokook: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid, Jl Sudirman, Jakarta. Menurut Sonny, Indonesia merupakan negara yang paling terjangkau harga rokoknya di banding negara-negara lain. Proporsi pengeluaran rumah tangga orang Indonesia yang pertama adalah padi-padian dan yang kedua adalah tembakau. Sementara itu susu, telur dan makanan bergizi lainnya berada di urutan ke sekian. "Rokok mengalahkan kebutuhan gizi pada rumah tangga miskin. Cobalah setiap orang punya pikiran 'kalau tidak merokok pasti tidak akan mati lebih cepat'," ujar Sonny. Sonny juga memaparkan bahwa harga satu bungkus rokok merek terkenal setara dengan setengah kg telur, 2 kg beras, 1 liter minyak goreng dan lainnya. Jadi sebenarnya orang miskin bisa beli makanan bergizi jika tidak membeli rokok. Makanya sampai ada istilah orang miskin yang merokok akan tetap miskin 7 turunan. "Pertama dia sendiri miskin, tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, tidak bisa memberi makanan bergizi, lalu anaknya jadi bodoh, tidak bisa mendapat pekerjaan, lalu menghasilkan generasi seperti itu seterusnya hingga tujuh turunan," ujarnya. Asal tahu saja, sampai usia 12 tahun, seorang anak akan mencontoh dan meniru semua perilaku orangtuanya. Jadi jika orangtua mencontohkan perilaku merokok, perilaku itulah yang akan tertanam di otak si anak dan akhirnya ditiru olehnya. Untuk itu dengan meningkatnya cukai tembakau sebesar 15 persen menjadi 44 persen per harga ecerannya pada 1 Januari 2010, diharapkan keluarga miskin dan anak-anak tidak akan membeli rokok dan teracuni oleh rokok. "Biarlah orang-orang kaya dan yang sudah tua-tua yang merokok. Biarlah mereka yang menyumbang pendapatan dan kekayaan untuk negara. Tidak adil rasanya jika orang miskin dan anak-anak harus mengeluarkan biaya untuk rokok yang seharusnya bisa dibelikan kebutuhan lain yang lebih bermanfaat. Orang tua tidak apa-apa kalau mau merokok karena generasi mereka akan hilang sebentar lagi, tapi kalau anak-anak sudah merokok, Indonesia bisa mengalami lost generation," kata Sonny. |