Cari Artikel disini

Jangan Salahkan Bajuku, Salah Pemerkosa Punya Nafsu dan Burung!!

Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai kasus kekerasan seksual pada wanita masih sangat tinggi. Tercatat,sepertiga ada 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual. Artinya setiap hari ada 28 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia.



Demo bela rok mini yang dianggap sebagai pemicu pemerkosaan beberapa waktu lalu di benderan HI

Menurut Komnas Perempuan, berulangnya kasus-kasus kekerasan seksual dalam transportasi umum menunjukkan bahwa tidak ada jaminan rasa aman bagi perempuan. "Penanganan dua kasus terakhir merupakan petunjuk penting pada keseriusan aparat penegak hukum dan pejabat publik dalam menjalankan mandat konstitusi untuk perlindungan dan jaminan rasa aman bagi warga negaranya," kata komisioner Komnas Perempuan Neng Dara Affiah dalam siaran pers, Minggu (25/9/2011).

Puluhan perempuan itu mengenakan rok mini dan membawa poster bertuliskan "Jangan salahkan baju kami. Hukum si pemerkosa". "My rok is my right" dan "Don't tell us how to dress. Tell them not to rape". "Jangan salahkan rok mini kami. Salahkan otaknya," ujar salah seorang orator Ucapan orator itu ditimpali oleh beberapa perserta aksi. "Yang mini bukan rok kami tapi otak kalian," teriak peserta demo di Bundaran HI .

Kajian Komnas Perempuan mengenai kekerasan seksual menunjukkan, persoalan penanganan kasus kekerasan seksual bermuara pada belum tersedianya payung hukum yang memadai serta kapasitas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Faktor budaya juga turut memperumit penyelesaian kekerasan seksual. Budaya penyangkalan, menyalahkan korban, dan konsep aib akibat perempuan yang diperkosa dianggap tidak lagi suci, telah menjauhkan perempuan korban memperolah hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

"Pernyataan yang menstigma perempuan korban memprovokasi kekerasan dengan busana yang ia kenakan, tidak saja telah menyakiti perempuan korban dan keluarganya untuk kesekian kalinya, serta semakin menyuburkan budaya yang menyulitkan penyelesaikan kasus kekerasan seksual, juga mengukuhkan diskriminasi terhadap perempuan," imbuh Neng Dara.


Demo aktifis perempuan, yang mengecam ulah pemerkosa

Komnas Perempuan lalu mendesak para pihak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya transportasi publik mengambil tindakan serius dan tepat dalam memperbaiki sistem guna menjamin rasa aman. "Serius dalam arti perbaikan harus dilakukan secara komprehensif dan sungguh-sungguh. Langkah kebijakan yang tepat juga diperlukan agar tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berkontribusi pada pembentukan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan," ungkap komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Komnas Perempuan mendukung usulan sistem identifikasi pengemudi perlu diadopsi dengan membentuk mekanisme sanksi pada pihak pengusaha yang tidak taat dalam memastikan terselenggaranya sistem tersebut. Perbaikan infrastuktur juga perlu meliputi tersedianya penerangan yang memadai di tempat tunggu dan jalan, patroli dan kesiapsiagaan petugas keamanan di titik-titik rawan, serta sarana transportasi yang memadai sehingga penumpang tidak perlu berdesak-desakan dan membuka peluang terjadinya pelecehan seksual.
"Dalam kerangka memikirkan kebijakan yang tepat, kebijakan gerbong khusus misalnya harus segera ditinjau ulang.

Memberikan rasa aman bagi perempuan perlu dilakukan tanpa membagi ruang publik antara laki-laki dan perempuan. Pembagian ruang publik ini justru akan mengukuhkan budaya menyalahkan korban kekerasan seksual," ungkap Andy. Ia juga menyoroti pernyataan pihak kepolisian tentang kesulitan mereka untuk mencari jejak pelaku perkosaan yang justru dengan gampang ditemukan oleh korban. "Pernyataan ini justru meneguhkan prasangka dalam masyarakat tentang ketidakseriusan jajaran kepolisian atas upaya penegakan hukum," tegasnya.

Komnas Perempuan juga mendorong peran aktif media dalam membantu penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Hasil analisa Komnas Perempuan terhadap 8 media cetak sepanjang tahun 2010 menunjukkan 50 persen media telah memenuhi etika jurnalistik dan hak korban dalam pemberitaannya tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. "Dengan pemenuhan etika jurnalistik dan hak korban, liputan aktif media atas peristiwa dan penanganan kasus sangat penting untuk membangun pemahaman publik tentang kekerasan seksual, dan mendorong aparat dan pejabat publik dalam menghadirkan jaminan perlindungan dan rasa aman di ruang publik serta dalam memenuhi hak-hak korban," pungkas Andy.[ruanghati.com]
Jangan lupa di like...










Artikel Terkait